Pengertian halal
Dalam kitab Mu’jam
Mufradat Alfadh al-Qur’an al-Karim, al-Raghib al-Isfahani mengatakan bahwa
kata halal, secara etimologi berasal dari kata halla-yahullu-hallan
wa halalan wa hulalan yang berarti melepaskan, menguraikan, membubarkan,
memecahkan, membebaskan dan membolehkan. Sedangkan secara terminologi, kata halal
mempunyai arti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau segala sesuatu yang
bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.
Al-Jurjani dalam kitab
at-Ta’rifat menjelaskan bahwa pada dasarnya, kata halal merujuk
kepada dua arti. Pertama, kebolehan menggunakan benda-benda atau apa
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani seperti makanan, minuman dan
obat-obatan. Kedua, kebolehan memanfaatkan, memakan, meminum dan
mengerjakan sesuatu yang semuanya ditentukan berdasarkan ketetapan nash.
Dalam al-Qur’an, kata halal
disebutkan untuk menjelaskan beberapa permasalahan seperti masalah muamalah,
kekeluargaan, perkawinan dan terkait dengan masalah makanan ataupun rezeki.
Namun demikian, kata halal tersebut lebih banyak digunakan dalam
menerangkan masalah makanan, minuman dan rezeki. Keterangan tersebut antara
lain kita dapati dalam Surah al-Baqarah: 168, Surah al-Maidah: 4-5, 87-88, dan
96, Surah an-Nisa: 160, Surah al-A`raf: 157, Surah al-Anfal: 69, Surah an-Nahl:
114, Surah at-Tahrim: 1, dan Surah al-Hajj: 30.
Pengertian thayyib (baik)
Kata thayyib menurut al-Isfahani, menunjukkan sesuatu yang
benar-benar baik. Bentuk jamak dari kata ini adalah thayyibât yang diambil dari
derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah dengan beberapa makna, yaitu: zaka
wa thahara (suci dan bersih), jada wa hasuna (baik dan elok), ladzdza
(enak), dan halal (halal).
Menurut al-Isfahani,
pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indra dan
jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Sedangkan
Ibnu Taimiyah menerangkan dalam kitab Majmu’ Fatawa bahwa yang dimaksud
dengan thayyib adalah yang membuat baik jasmani, rohani, akal dan akhlak
manusia. Menurutnya, lawan dari kata thayyib ini adalah khabits (bentuk
jamaknya khabaits) yaitu sesuatu yang menjijikkan dan dapat merusak fisik,
psikis, akal dan akhlak seseorang.
Dalam al-Qur’an, kata thayyib
ini disebutkan beberapa kali dalam bentuk yang berbeda. Terkait dengan makanan,
al-Qur’an menyebutkan kata thayyiban dengan diawali kata halalan
dalam bentuk mufrad mudzakkar (laki-laki tunggal) sebanyak empat kali
untuk menjelaskan sifat makanan yang halal sebagaimana yang terdapat dalam
Surah al-Baqarah: 168, Surah al-Maidah: 88, Surah al-Anfal: 69, dan Surah
an-Nahl: 114.
Sedangkan yang tidak
ada kaitannya dengan makanan, al-Qur’an menyebutkan kata thayyibah dalam
bentuk mufrad muannats (perempuan tunggal) pada sembilan tempat, yaitu
pada Surah Aal Imran: 38, Surah at-Taubah: 72, Surah Yunus: 22, Surah Ibrahim:
24 (dalam ayat ini disebut dua kali), Surah an-Nahl: 97, Surah an-Nur: 61, Surah
Saba: 15, dan Surah ash-Shaff: 12. Dan sebanyak dua kali dalam bentuk mufrad
mudzakkar yaitu pada Surah an-Nisa: 43 dan Surah al-Maidah: 6.
Di samping itu, dalam
bentuk jamaknya (thayyibat), kata ini disebutkan sebanyak sepuluh kali
dengan merujuk pada empat pengertian yaitu; sifat makanan, sifat usaha atau
rezeki, sifat perhiasan dan sifat perempuan. Seperti yang terdapat pada Surah
al-Maidah: 4-5, Surah al-A`raf: 157, Surah al-Anfal: 26, Surah Yunus: 93, Surah
an-Nahl: 72, Surah al-Isra: 70, Surah al-Mu’minun: 51, Surah Ghafir: 64 dan
Surah al-Jatsiyah: 16.
sumber : http://www.majalahgontor.net/index.php?option=com_content&view=article&id=435:konsep-halalan-thayyiban-dalam-makanan&catid=67:dirasah&Itemid=129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar